Keterbatasan Kewenangan Kepala Daerah: Perlukah Pilkada?

Redaksi


 Nusantara News Probolinggo - Dalam tata kelola pemerintahan Indonesia, roda pemerintahan daerah dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan adanya sinkronisasi antara program pemerintah pusat dan daerah. Namun, yang menjadi sorotan adalah adanya keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang Kepala Daerah, yang seringkali menimbulkan salah paham di tengah masyarakat. Dilema ini, pada akhirnya, memengaruhi laju pembangunan di daerah.


Paradigma Keterbatasan dan Miskomunikasi


Keterbatasan kewenangan Kepala Daerah bisa kita lihat dalam berbagai aspek, seperti perbaikan infrastruktur dan pengelolaan tempat wisata. Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami batasan-batasan ini, yang berpotensi menimbulkan hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Ketidaktahuan ini bisa menyebabkan tuntutan yang tidak realistis terhadap Kepala Daerah, yang pada gilirannya memicu kekecewaan.


Tidak bisa dipungkiri, bahwa infrastruktur yang kurang memadai di beberapa daerah juga dipengaruhi oleh keterbatasan anggaran. Anggaran tersebut direncanakan berdasarkan program kerja jangka panjang, menengah, dan tahunan, yang kesemuanya memerlukan pengawasan ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan.


Apakah Pilkada Masih Relevan?


Dengan keterbatasan yang dihadapi oleh Kepala Daerah, muncul pertanyaan mendasar: apakah Pilkada masih relevan? Biaya yang dikeluarkan untuk proses Pilkada sangat besar, dan masyarakat berharap banyak dari calon yang terpilih.


 Namun, ketika Kepala Daerah terpilih mengalami kendala dalam menjalankan visi dan misinya karena keterbatasan wewenang, hal ini membuka celah bagi oposisi untuk menciptakan keresahan di masyarakat.


Sebagai contoh, dalam proses perencanaan program kerja, setiap rencana harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi. Proses ini memakan waktu yang tidak sedikit, sekitar dua bulan. Hambatan ini tentunya dapat memperlambat pembangunan daerah, apalagi jika program kerja yang sudah dirancang harus menunggu persetujuan pusat.


Jalan Tengah dan Solusi


Problematika ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perlu ada perhatian khusus dari berbagai pihak, terutama para wakil rakyat di Senayan, untuk merevisi UU Pemerintahan Daerah agar pembangunan daerah dapat berjalan lebih efektif. Revisi ini diharapkan tidak hanya menyelaraskan program pembangunan daerah dan nasional, tetapi juga memberi ruang bagi Kepala Daerah untuk bergerak lebih leluasa sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.


Tidak hanya legislatif dan eksekutif, peran serta masyarakat, mahasiswa, aktivis, dan media sangat penting dalam mengawal proses ini. Suara rakyat harus terus didengar dan disampaikan dengan baik, sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih bijaksana dan tidak menghambat pembangunan.


Pilkada sebagai bagian dari demokrasi lokal masih memiliki tempat penting, namun sistemnya mungkin perlu ditinjau ulang agar tidak hanya menjadi ritual lima tahunan yang mahal tanpa hasil yang signifikan. Ketika aturan yang ada lebih fleksibel dan mendukung, mungkin kita bisa melihat daerah berkembang sesuai potensinya tanpa terhambat oleh birokrasi yang berbelit-belit.

 ( MH*****)