Nusantara News Probolinggo - Dunia jurnalistik di Kabupaten Probolinggo kembali berguncang. Seorang wartawan resmi dilaporkan ke Polres Probolinggo oleh Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) setempat. Alasan pelaporan ini cukup menggelitik: media tempat sang wartawan bernaung dianggap tidak terdaftar di Dewan Pers.
Namun, langkah itu langsung memantik perdebatan. Sebab, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah tegas mengatur: kemerdekaan pers adalah hak asasi, bukan hasil dari "izin" atau "pendaftaran" di lembaga tertentu.
Pasal 4 ayat (1) UU Pers menyatakan lugas:
“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”
Sedangkan Pasal 11 UU Pers hanya mengatur kewajiban perusahaan pers untuk mencantumkan nama, alamat, serta penanggung jawab secara terbuka. Soal berbadan hukum, itu mengikuti ketentuan undang-undang lain.
Artinya Tidak ada aturan yang menyebut media harus terdaftar di Dewan Pers untuk diakui secara sah. Dewan Pers sendiri lebih berperan dalam pendataan, pembinaan, hingga pengembangan pers nasional, bukan sebagai "lembaga perizinan." Bahkan, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) hanyalah alat peningkatan profesionalisme, bukan tiket mutlak untuk diakui sebagai jurnalis.
Ketua LSM PASKAL, Sulaiman, menilai tindakan PAPDESI justru mengancam pilar demokrasi.
“Kalau ada berita yang dianggap keliru, kan ada mekanismenya—hak jawab, hak koreksi, atau lewat Dewan Pers. Tidak harus buru-buru dibawa ke ranah pidana,” tegasnya.
Senada dengan itu, anggota Afiliasi Wartawan Probolinggo Raya (AWPR), Edi D, menyebut penggunaan jalur pidana dalam sengketa pemberitaan bisa menciptakan preseden berbahaya.
“Kalau cara ini dibiarkan, ruang gerak pers makin sempit. Padahal undang-undang sudah memberi perlindungan jelas bagi wartawan,” ujarnya.
Dari Jawa Timur, Diki dari DPW LSM Botan Matenggo Woengoe (BMW) menambahkan bahwa kasus ini seharusnya jadi momentum meningkatkan literasi hukum di masyarakat.
“Wartawan itu bukan kriminal. Kalau ada salah, ya ada prosedur untuk meluruskan. Semua pihak harus paham regulasi pers,” ucapnya.
Kini, perhatian publik beralih ke Polres Probolinggo. Apakah kepolisian akan menjadikan UU Pers sebagai rujukan utama? Ataukah kasus ini justru membuka celah bagi penyempitan demokrasi di tingkat lokal?
Harapan banyak pihak, polisi tetap berpegang teguh pada amanat undang-undang untuk melindungi kebebasan pers. Sebab, kasus ini bukan sekadar perkara satu wartawan dengan sebuah organisasi, melainkan menyangkut wajah demokrasi dan hak berekspresi masyarakat Probolinggo ke depan.
(SF**)