Oknum Pendamping Desa Diduga Jadi Alat Tekanan SPBU Semampir, FSPMI Ngamuk: “Ini Sudah Keterlaluan!”

Redaksi

 


Nusantara News Probolinggo — Aroma busuk intimidasi menyeruak dari balik nama baik pendamping desa. Seorang oknum berinisial S, yang diketahui sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat di Kab. Probolinggo, diduga mencoba melakukan tekanan terhadap anggota Serikat Pekerja FSPMI agar mencabut gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terhadap SPBU Semampir.


Lebih parahnya lagi, sumber internal menyebut, aksi intervensi itu bukan inisiatif pribadi. Oknum tersebut diduga bergerak atas perintah langsung dari Direktur pemilik SPBU Semampir yang kini tengah bersengketa hukum dengan pekerjanya. Sebuah langkah yang bukan hanya melanggar etika, tapi juga menusuk jantung keadilan buruh di daerah ini.

Ketua KC FSPMI Kabupaten Probolinggo, Edi Suprapto, meledak dengan pernyataan keras, 22/10/2025,


“Kami tidak akan tinggal diam! Pendamping desa itu memakai atribut negara untuk menekan anggota kami. Itu intervensi terang-terangan dan pelecehan terhadap hak berserikat,” ujarnya dengan nada tegas.


Menurut Edi, tindakan oknum pendamping desa tersebut telah mencoreng nama baik institusi pendamping desa di seluruh Indonesia. “Pendamping itu seharusnya membina masyarakat, bukan membungkamnya. Dan seharusnya juga menjauhi Larangan - larangan yg sudah tertuang di KEPMENDES No. 143 Tahun 2022 .Kami sudah melayangkan laporan resmi ke Kementerian Desa agar kasus ini dijadikan contoh dan efek jera bagi pendamping lain yang bermain mata dengan kepentingan pribadi,” Tandasnya.


FSPMI menilai, kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi indikasi keterlibatan kekuasaan lokal dalam menekan suara pekerja. Di saat para buruh memperjuangkan haknya lewat jalur hukum, justru datang intimidasi dari sosok yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat desa. Ironi yang menampar wajah keadilan sosial di bumi Probolinggo.


Publik menanti langkah tegas dari Kementerian Desa, PDTT, apakah akan menutup mata atau justru berdiri di sisi yang benar. Sebab bila dibiarkan, pendamping desa akan berubah menjadi "alat pemukul" bagi pemodal, bukan lagi penyambung aspirasi rakyat kecil.


 Di ujung kisah ini, terdengar hanyalah suara lirih para buruh,

“Kami hanya menuntut keadilan, bukan menantang kekuasaan.”

(MH**)