Nusantara News Banyuwangi – Sebuah kasus hukum yang menyedot perhatian publik tengah berlangsung di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Seorang kakek renta berusia lanjut, yang diketahui sebagai pemilik sah sebidang tanah bersertifikat Hak Milik di Desa Tegalharjo, Kecamatan Glenmore kini harus menghadapi kenyataan pahit: dirinya digugat oleh Bupati Banyuwangi dengan tuntutan ganti rugi yang mencengangkan, yakni Rp 30 miliar.
Sidang perdana atas perkara ini digelar Rabu 30 April kemarin di Pengadilan Negeri Banyuwangi. Dalam sidang yang dibuka dan terbuka untuk umum, gugatan oleh tim kuasa hukum Bupati Banyuwangi menjadi sorotan utama. Sementara itu, Krisno Jatmiko selaku kuasa hukum sang kakek menyatakan akan menyampaikan jawaban resmi mereka pada sidang lanjutan yang dijadwalkan pada 7 Mei 2025 mendatang.
Kasus ini berakar dari sengketa kepemilikan tanah seluas kurang lebih 25.000 meter persegi yang terletak di Desa Tegalharjo, Kecamatan Glenmore, yang diketahui sekarang digunakan sebagai Rest Area Cerung. Berdasarkan dokumen gugatan, pihak penggugat yang dalam hal ini adalah Bupati Banyuwangi mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan aset milik Pemkab Banyuwangi yang didasarkan pada Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 19 luas: 25.000 meter persegi. Sertifikat tersebut merujuk pada Surat Ukur nomor 00123 tertanggal 5-6-2000 dan diperkuat oleh Surat Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah pada 12 Juni 2000.
Lebih lanjut, dalam dokumen resmi yang diajukan ke Pengadilan, pihak penggugat menyertakan dua putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi No. 112/Pdt.G/2005/PN.BWI tertanggal 31 Juli 2006, dan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 457/PDT/2007/PT.SBY tertanggal 15 Januari 2008 dengan para pihaknya yakni Budiyono selalu Penggugat dan PT. Makarti selaku Tergugat.
Namun, kakek yang kini menjadi tergugat utama dalam perkara ini diketahui memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 1620 dan 1621 atas nama Drs. Budiono yang diterbitkan pada tahun 2011, masing-masing atas tanah seluas 12.000 m2 dan 11.830 m2 yang masih sah dan belum pernah dibatalkan oleh Putusan Pengadilan yang _Inkracht_ . Dalam Gugatan yang disampaikan, Penggugat mengklaim bahwa penerbitan SHM tersebut oleh Kantor Pertanahan Banyuwangi mengandung cacat hukum dan bertentangan dengan status tanah sebelumnya yang telah dipegang oleh PT. Makarti berdasarkan HGU.
Bupati Banyuwangi dalam gugatannya menyatakan bahwa kakek tersebut—melalui tindakan konversi kepemilikan, pemasangan papan nama, serta laporan penyerobotan tanah terhadap pihak penggugat—telah melakukan perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut menuntut agar SHM milik kakek dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, termasuk semua dokumen turunan seperti Akta Jual Beli No. 401/15/GLM/XI/2011 yang dibuat oleh Notaris/PPAT.
Kemudian, dalam Petitum Gugatannya, penggugat juga meminta agar Pengadilan menetapkan bahwa mereka memiliki hak eksklusif untuk menguasai dan mengelola tanah tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Bupati Banyuwangi meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 20 miliar dan ganti rugi immateriil sebesar Rp 10 miliar, serta uang paksa (dwangsom) senilai Rp 500.000 per hari jika Putusan dikabulkan nantinya.
Pihak kakek, yang diwakili oleh tim kuasa hukumnya, Krisno Jatmiko menegaskan bahwa mereka akan membuka fakta-fakta penting dalam sidang selanjutnya. "Kami ingin membuka mata publik bahwa seorang kakek renta yang memiliki tanah bersertifikat sah justru kini harus berhadapan dengan penguasa daerah dalam gugatan bernilai puluhan miliar rupiah. Ini bukan sekedar perkara tanah, ini adalah cerminan dari Pemerintah Daerah yang menerapkan hukum secara Represif,” ujarnya.
Tim hukum juga menyampaikan, "bahwa tidak ada Sertifikat HGU dengan luas 25.000 meter persegi, karena dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, luas minimal HGU adalah 50.000 meter persegi. Kalaupun ada sertifikat HGU dengan luas 25.000 meter persegi, sudah pasti tidak sesuai dengan ketentuan UUPA. Apalagi, HGU yang dijadikan objek gugatan tersebut setahu kami telah habis masa berlakunya pada 31 Desember 2023 lalu."
Menurut mereka, tindakan menggugat orang tua yang hidup sederhana dengan kepemilikan hak atas tanah mencerminkan kegagalan perlindungan Negara terhadap hak atas tanah rakyat.
Kemudian dalam petitum gugatannya, penggugat juga meminta agar pengadilan menyatakan sah sita jaminan _(conservatoir beslag)_ terhadap objek sengketa, dan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun para tergugat mengajukan upaya hukum banding, kasasi, atau upaya hukum lainnya.
Kasus ini telah memicu respons publik luas. Di media sosial, tagar #KakekVsBupati dan #KeadilanUntukBudiyono menjadi tren. Banyak warganet menyatakan keprihatinan terhadap nasib sang kakek dan menuntut keadilan dalam proses hukum yang sedang berjalan.
Kuasa hukum juga menyampaikan, sidang lanjutan akan digelar pada 7 Mei mendatang dengan agenda jawaban dari tergugat. Pihak Tergugat yakni kakek akan memberikan jawaban secara detail dalam agenda tersebut.
Publik kini menanti langkah hukum berikutnya yang akan diambil oleh sang kakek melalui tim pembelanya. Apakah perlawanan hukum dari warga lanjut usia ini akan menggugurkan gugatan sang Bupati, atau justru berujung pada kehilangan Hak Milik atas tanah yang telah ia miliki selama bertahun-tahun? Hanya waktu dan pengadilan yang akan menjawab
Bersambung.....
(MH**)